Keheningan di Rawa Bayu
Suasana hening menyergap saat memasuki areal Wana Wisata Rawa Bayu. Areal telaga berdiameter sekitar 50 meter itu terkungkung hutan lebat dan bebat daun aneka pepohonan. Akibatnya, matahari pun susah payah meneroboskan sinarnya hingga siang hari seperti candikala (matahati tenggelam). Desiran angin membawa gemericik air dari celah-celah dinding kaki Gunung Raung terasa dingin menusuk tulang. Beberapa patung kala berwajah menyeramkan seolah menyeruak di balik pohon kecil. Tak ada suara, apalagi teriakan, dan beberapa pengunjung pun berbicara setengah berbisik. Ya, Rawa Bayu di Desa Bayu, Kec. Songgon, Kab. Banyuwangi memang sangat hening dan singup (angker). Telaga itu menyimpan sejarah Blambangan yang penuh linangan air mata dan tetesan darah. Di salah satu sudut di pinggir telaga itu terdapat petilasan Raja Blambangan Tawang Alun ketika bersemedi merenungi kematian dua adiknya, yang berperang melawan dirinya.
Di Desa Bayu terjadi perang puputan atau habis-habisan rakyat Blambangan melawan penjajah VOC Belanda, 18 Desember 1771. Puputan itu diakui Belanda sebagai peperangan paling brutal dan kejam, serta menghabiskan biaya senilai 8 ton emas. Kini setiap 18 Desember diperingati sebagai hari jadi Kota Banyuwangi. (baca juga Kisah Heroik Rakyat Blambangan). Awalnya diyakini sebuah rawa, namun seiring perjalanan waktu berubah telaga. Demikian juga sangat hening pada hari-hari biasa. Namun berubah meriah pada hari libur atau Minggu. Telaga alam itu menjadi tujuan wisata keluarga bagi masyarakat di wilayah Songgon, Rogojampi, Sempu, dan sekitamya. Selain itu juga dikunjungi orang dari beberapa daerah di Banyuwangi lainnya, seperti Tegal Dlimo, Bangorejo, Purwoharo, Pesanggaran, Muncar, dan sebagainya. Serta beberapa daerah di luar Banyuwangi, seperti Jember, Lumajang, bahkan dari Bali. Mereka dating untuk mengambil air suci, kebanyakan umat Hindu. “Menurut kepercayaan mereka, biasanya mereka lebih dulu mendapatkan wisik (suara gaib, red.) yang memerintahkan agar mengambil air dari sumber air di sini (sumber Rowo Bayu, red.) ,” ujar Handoyo, penjaga petilasan Prabu Tawang Alun.
Para pengunjung juga ada bersemedi di petilasan Prabu Tawang Alun, Raja Blambangan. Diantara mereka ada yang mengaku keturunan atau kerabat Prabu Tawang Alun. Sebab setelah kerajaan Blambangan hancur, banyak kerabat atau pasukannya yang tercerai berai. “Ada yang lari ke Bali, tapi ada juga yang bersembunyi di hutan-hutan di daerah Banyuwangi, terbukti masih banyaknya orang yang masih menganut agama Hindu di Banyuwangi,” ujar pria berusia 70 tahun ini. Di telaga Rowo Bayu terdapat tiga sumber air, yaitu Sendang Keputren, Wigonggo, dan Sendang Kamulyan. Sebelum mengalir ke telaga atau rowo, sumber air itu ditampung di sebuah kolam kecil atau sendang. Selain ketiga sumber air tersebut, air Rawa Bayu juga berasan dari lapisan batu-batu yang berada di sekitarnya. Menurut Handoyo, dulu pada hari libur atau Idul Fitri kerap sekali digelar berbagai pertunjukan. Namun sekarang ini sudah jarang sekali, karena banyak kejadian aneh pada saat acara atau usai acara digelar. Misalnya, ada orang kesurupan dan impian yang aneh yang melarang daerah tersebut untuk hura-hura atau mengumbar hawa nafsu.
“Sekarang ini kebanyakan orang yang berkunjung untuk mengambil air dan semedi. Biasanya mereka datang saat bulan purnama dan tilem (tidak ada bulan), “ujarnya. Di sisi lain, Rawa Bayu tidak sekedar tempat wisata dan semedi. Ya, bisa menjadi media pembelajaran yang dapat mendukung mata pelajaan sejarah karena jelas merupakan bukti sejarah. Juga dapat mendukung mata pelajara biologi karena dapat digunakan sebagai media keaneka ragaman hayati, ekosistem rawa, ekosistem hutan dan sebagainya. Juga dapat mendukung mata pelajaran geografi misalnya menentukan kedalaman rawa. Jika tertarik ke Rowo Bayu dapat ditempuh dengan kendaraan umum atau pribadi. Dari jalan raya Jember-Banyuwangi, Anda berhenti di kota Rogojampi. Setelah itu terus ke arah barat sekitar 7 km ke Kota Songgon, kemudian ke barat lagi 7 km. Harus ekstra hati-hati sesampai di tetenger Puputan Bayu di Desa Bayu, sebab jalannya rusak dan bergelombang sekitar 3 km.
Suasana hening menyergap saat memasuki areal Wana Wisata Rawa Bayu. Areal telaga berdiameter sekitar 50 meter itu terkungkung hutan lebat dan bebat daun aneka pepohonan. Akibatnya, matahari pun susah payah meneroboskan sinarnya hingga siang hari seperti candikala (matahati tenggelam). Desiran angin membawa gemericik air dari celah-celah dinding kaki Gunung Raung terasa dingin menusuk tulang. Beberapa patung kala berwajah menyeramkan seolah menyeruak di balik pohon kecil. Tak ada suara, apalagi teriakan, dan beberapa pengunjung pun berbicara setengah berbisik. Ya, Rawa Bayu di Desa Bayu, Kec. Songgon, Kab. Banyuwangi memang sangat hening dan singup (angker). Telaga itu menyimpan sejarah Blambangan yang penuh linangan air mata dan tetesan darah. Di salah satu sudut di pinggir telaga itu terdapat petilasan Raja Blambangan Tawang Alun ketika bersemedi merenungi kematian dua adiknya, yang berperang melawan dirinya.
Di Desa Bayu terjadi perang puputan atau habis-habisan rakyat Blambangan melawan penjajah VOC Belanda, 18 Desember 1771. Puputan itu diakui Belanda sebagai peperangan paling brutal dan kejam, serta menghabiskan biaya senilai 8 ton emas. Kini setiap 18 Desember diperingati sebagai hari jadi Kota Banyuwangi. (baca juga Kisah Heroik Rakyat Blambangan). Awalnya diyakini sebuah rawa, namun seiring perjalanan waktu berubah telaga. Demikian juga sangat hening pada hari-hari biasa. Namun berubah meriah pada hari libur atau Minggu. Telaga alam itu menjadi tujuan wisata keluarga bagi masyarakat di wilayah Songgon, Rogojampi, Sempu, dan sekitamya. Selain itu juga dikunjungi orang dari beberapa daerah di Banyuwangi lainnya, seperti Tegal Dlimo, Bangorejo, Purwoharo, Pesanggaran, Muncar, dan sebagainya. Serta beberapa daerah di luar Banyuwangi, seperti Jember, Lumajang, bahkan dari Bali. Mereka dating untuk mengambil air suci, kebanyakan umat Hindu. “Menurut kepercayaan mereka, biasanya mereka lebih dulu mendapatkan wisik (suara gaib, red.) yang memerintahkan agar mengambil air dari sumber air di sini (sumber Rowo Bayu, red.) ,” ujar Handoyo, penjaga petilasan Prabu Tawang Alun.
Para pengunjung juga ada bersemedi di petilasan Prabu Tawang Alun, Raja Blambangan. Diantara mereka ada yang mengaku keturunan atau kerabat Prabu Tawang Alun. Sebab setelah kerajaan Blambangan hancur, banyak kerabat atau pasukannya yang tercerai berai. “Ada yang lari ke Bali, tapi ada juga yang bersembunyi di hutan-hutan di daerah Banyuwangi, terbukti masih banyaknya orang yang masih menganut agama Hindu di Banyuwangi,” ujar pria berusia 70 tahun ini. Di telaga Rowo Bayu terdapat tiga sumber air, yaitu Sendang Keputren, Wigonggo, dan Sendang Kamulyan. Sebelum mengalir ke telaga atau rowo, sumber air itu ditampung di sebuah kolam kecil atau sendang. Selain ketiga sumber air tersebut, air Rawa Bayu juga berasan dari lapisan batu-batu yang berada di sekitarnya. Menurut Handoyo, dulu pada hari libur atau Idul Fitri kerap sekali digelar berbagai pertunjukan. Namun sekarang ini sudah jarang sekali, karena banyak kejadian aneh pada saat acara atau usai acara digelar. Misalnya, ada orang kesurupan dan impian yang aneh yang melarang daerah tersebut untuk hura-hura atau mengumbar hawa nafsu.
“Sekarang ini kebanyakan orang yang berkunjung untuk mengambil air dan semedi. Biasanya mereka datang saat bulan purnama dan tilem (tidak ada bulan), “ujarnya. Di sisi lain, Rawa Bayu tidak sekedar tempat wisata dan semedi. Ya, bisa menjadi media pembelajaran yang dapat mendukung mata pelajaan sejarah karena jelas merupakan bukti sejarah. Juga dapat mendukung mata pelajara biologi karena dapat digunakan sebagai media keaneka ragaman hayati, ekosistem rawa, ekosistem hutan dan sebagainya. Juga dapat mendukung mata pelajaran geografi misalnya menentukan kedalaman rawa. Jika tertarik ke Rowo Bayu dapat ditempuh dengan kendaraan umum atau pribadi. Dari jalan raya Jember-Banyuwangi, Anda berhenti di kota Rogojampi. Setelah itu terus ke arah barat sekitar 7 km ke Kota Songgon, kemudian ke barat lagi 7 km. Harus ekstra hati-hati sesampai di tetenger Puputan Bayu di Desa Bayu, sebab jalannya rusak dan bergelombang sekitar 3 km.
Komentar